23 Jun

Semarang Dari Atas Sadel

Percaya tidak kalau hal-hal familiar yang kita hadapi sehari-hari bisa saja terlihat berbeda tergantung dari sudut pandang kita melihatnya. Semarang yang biasa aku lihat, lewati, jalani setiap detiknya, ternyata bisa terlihat berbeda dari atas sandal ketika aku berjalan, atau dari atas sadel ketika aku bersepeda. Tempat tempat yang biasa kulewati sambil lalu diatas jog sepeda motor ternyata entah kenapa terlihat berbeda ketika kulewati dengan sepeda. Pasar Johar dan kawasan Kota Lama, jalan Pandanaran dan Simpang Lima, Kampung Kali dan Pecinan, semuanya rasanya terlihat lebih… cantik? Mungkin karena sepeda itu lambat dan aku punya lebih banyak waktu untuk melihatnya? Atau karena usaha untuk sampai ke sana lebih berat? Entahlah, mungkin juga memang selama ini aku yang tak memperhatikan.

Mungkin karena baru saja lulus dan kurang kerjaan, sekarang aku sedang semangat bersepeda. Sayangnya, Semarang tampaknya jadi kurang ramah bagi pengendara sepeda dibandingkan ketika jaman ketika aku SMP dulu. Jangankan jalur khusus untuk kendaraan lambat tak bermesin seperti sepeda dan becak, lha wong pinggir jalannya saja selalu saja ada pengganggunya mulai dari mobil yang parkir sembarangan sampai badan jalan yang digunakan untuk berjualan. Karena itulah kadang pengendara sepeda harus “bersaingâ€? di tengah dengan kendaraan bermotor dan mobil. Belum lagi ketika sampai di persimpangan besar, harus pintar-pintar memilih jalur memutar kalau tak mau taruhan nyawa. Masalah polusi juga bukan hal kecil, bersepeda di kota seperti Semarang hanya bisa dinikmati pagi-pagi sekali atau sore menjelang malam, pokoknya disaat lalu lintas tak terlalu ramai. Kalau nekat pada jam sibuk ya mungkin dari sisi kesehatan akan defisit, kaki dan jantung bertambah sehat, tapi paru-paru bolong kebanyakan CO dan CO2. Rasanya tak hanya di Semarang, semua kota hampir sama kondisinya. Kalau membayangkan Jakarta, mungkin bersepeda di jalanan ibukota itu bisa dikategorikan extreme sport ya, mengingat besarnya resiko. Hehehe.. Kota-kota dengan ciri tradisional seperti Yogya mungkin lebih ramah untuk hal seperti ini. Anyone?

Kondisi dan suasana jalan bukan satu-satunya masalah, pengakuan terhadap adanya sepeda pun perlu diperhitugkan. Selama ini aku tak punya masalaha kalau pergi ke Gramedia dengan sepeda, malah parkirnya ditempat VIP dekat dengan penjaganya, atau kalau sekedar berkunjung di depan, aku nekat parkir diantara mobil. Hehe.. bayarnya pun cukup 500 rupiah. Bravo Gramedia! Lain halnya ketika aku pergi ke plasa Simpang Lima, ketika masuk hendak parkir, penjaganya hanya bilang mereka tidak menerima parkir sepeda, kemudian diam dengan sorot mata yang seakan menyuruhku pergi. Untunglah setelah aku cuek masuk ke dalam, ada salah seorang penjaga baik hati yang secara personal menyediakan tempat unuk sepedaku, gratis tentunya. Sekarang kalau hendak ke sana bersepeda, rasanya mesti nyari penjaga baik hati itu dulu untuk bisa parkir. Ah, walaupun banyak tantangannya, tapi menyenangkan kok bersepeda. Btw, kok bisa-bisanya ya selama ini pemerintah mengkampanyekan hemat BBM tanpa menyebut sepeda?

bike
At Gramed : Car? be a man! work your legs out! hehehe..

7 thoughts on “Semarang Dari Atas Sadel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *