We are the Tempe People !
Ketika aku pergi ke Surabaya menghadiri resepsi perkawinan sepupuku kemarin, aku mendapatkan pengalaman yang lebih daripada sekedar melihat ritual pengantin ala Jawa Timur. Aku melihat bagaimana orang-orang kecil dari Pekalongan (kampoeng halamanku) mencari hidup di kota besar.
Orang-orang di pekalongan (tentu saja tidak semuanya, ini hanya tipical saja) secara umum hidup dari bertani dan usaha batik. Namun generasi mudanya lebih suka merantau dan mencari penghidupan di kota besar, sebagaimana umumnya fenomena di manapun juga. Ada tiga kota utama tujuan perantauan dari Pekalongan ini yaitu Surabaya, Semarang dan Pekalongan. Sebenarnya Cilacap juga banyak dijadikan tujuan rantau tapi lebih banyak untuk mengembangkan usaha batik atau magang untuk menjadi pe-batik. Pekerjaan yang dilakukan oleh para perantau tersebut ada dua macam yaitu pedagang kopi dan pedagang tempe. Tapi mereka bukan cuma berdagang, mereka juga memproduksi kopi dan tempe tersebut. Pekerjaan ini juga menjadi semacam siklus, para perantau yang sudah berhasil akan mengajak pemuda untuk ikut merantau di kotanya, biasanya sekitar umur 15 mereka akan mulai merantau dan “magang” di tempat kerabatnya.
Nah pada hari itu aku berkesempatan untuk mengunjungi daerah Trenggilis di Surabaya. Di situ ada rumah pamanku. Wah daerah ini lebih tepat di sebut “pekalongan mini”. Karena hampir tiap warga di situ adalah orang rantauan dari Pekalongan yang bekerja sebagai pembuat dan pedagang tempe. Dan ketika aku ditunjukkan bagaimana cara pembuatan tempe, tak terbayang sebelumnya betapa susahnya usaha yang dilakukan untuk membuat seiris tempe itu.
Pertama tempat tinggal pembuat tempe haruslah di pinggir sungai, karena jumlah air yang dibutuhkan sangat banyak sekali. Selanjutnya, prosesnya mulai dari memilah biji kedelai (too bad kedelai yang digunakan haruslah kedelai impor, katanya kedelai lokal tidak cukup bagus untuk dijadikan tempe dan hanya cukup untuk makan ternak! what?? aku baru tahu!), menggiling kedelai, mencuci kedelai, mengkrieg (nggak tahu sebutan aslinya apa, yang jelas ini adalah proses menginjak-injak kedelai sampai terpisah dari kulitnya), menyaring antara kulit dan kedelai, merebus lagi, menambahkan campuran (campuran ini bermacam-macam sesuai dengan kualitas tempenya (kualitas bagus banget : tanpa kulit tanpa campuran, kualitas bagus : tanpa campuran, tapi pakai kulit, kualitas agak bagus : campurannya jagung, kualitas lumayan : campurannya singkong), dilanjutkan dengan memberi ragi, kemudian di masukkan ke dalam berbagai kemasan dan dibiarkan selama 2-3 hari. Dan yang aku bicarakan di sini adalah satu kali siklus pembuatan, tiap pedagang biasanya membuat sampai sekitar 2-3 kwintal kedelai.
Mungkin kalau ada yang melihat prosesnya, nggak akan mau untuk makan tempe lagi (walaupun aku fine-fine aja sih hehehe..) mulai dari air yang digunakan, hoho..air sungai murni, murni di sini artinya ya langsung dipakai, padahal segala macam benda ikut menjadikan sungai itu sebagai jalur pelayarannya, baik non-organik maupun organik termasuk human’s pup. hehehe… Katanya dulu ada ahli dari Amerika yang meneliti dan mensurvei tempat pembuatan tempe disekitar tempat tinggal pamanku, heran kenapa kok tempe2 itu nggak berpengaruh buruk bagi manusia ..eh..kesimpulan akhirnya dia menyatakan bahwa proses yang sedemikian banyak itu, termasuk pemberian ragi (biang) yang menghilangkan efek buruknya. hahaha.. ada2 saja, yang jelas hasil akhirnya sih nggak mencerminkan prosesnya, tempenya begitu putih, bersih dan halus.
Ternyata yang aku lihat itu belum seberapa, aku diajak berkunjung ke perkampungan tempe yang sesungguhnya, jaraknya tidak begitu jauh, cukup dengan berjalan kaki. Di tepi sungai itu, diantara hutan-hutan bambu (aku sampai nggak peracaya kalau ini masih di Surabaya) berdiri dua buah bangunan yang sangaaat besar sekali yang terbuat dari anyaman bambu. Bangunan pertama terdiri dari 16 kamar dan bangunan yang kedua terdiri dari 32 kamar. Masing kamar dihuni oleh satu buah keluarga, termasuk anak-anaknya, semuanya orang Pekalongan. Sebagian besar kamar itupun digunakan untuk keperluan tempe, sehingga sedikit ruang yang tersisa untuk tempat tidur atau ruang duduk. Waktu aku datang ke sana hari sudah siang dan para pedagang semua sedang sibuk menyiapkan dagangan untuk selanjutnya.
Pemandangan yang hebat sekali, sebuah komunitas yang jauuh dari kemewahan, penuh dengan hawa bekerja dan rasa kekeluargaan yang tinggi. Semuanya sibuk, semuanya memiliki peran sendiri-sendiri, suara alat penggiling kedelai, kuali-kuali yang terbuat dari tong, aroma kedelai memenuhi udara, pokoknya semuanya! Dan yang paling aku suka, mereka melakukannya dengan ceria, bercengkrama dan bercanda seolah tak terbersit beban hidup pada rona wajah mereka. Jadi malu aku pada diri sendiri yang suka mengeluh ini itu. Sebenarnya waktu itu aku membawa kamera dan ingin memotret.. tapi aku merasa bodoh, memangnya siapa aku? turis? Aku nggak lebih apa-apa dari mereka, walaupun aku tahu mereka pasti senang sekali untuk sekedar dipotret..
For your information, waktu kerja mereka seperti nggak ada hentinya, mereka mulai aktivitas pada tengah malam! (saat ketika aku mulai akan tidur, mereka memulaiu aktivitas hariannya) mempersiapkan dagangannya untuk diangkut kepasar, berdagang di sana sampai hampir siang, kemudian dilanjutkan dengan membuat tempe untuk hari selanjutnya, dan prosesnya selesai ketika hari hampir malam. Dan mereka melakukannya non stop sepanjang tahun, selama kesehatan tubuhnya mengizinkan. Jadi kalau ada orang sok mengkritisi etos kerja bangsa ini malas dan bla..bla.. pliz buat perkecualian untuk orang-orang seperti ini, or else I’ll poke you right in the eye!
ceritanya sangat bagus sekali,saya sangat suka ulasan kehidupan rakyat (ordinary people) yg merupakan kisah nyata kehidupan sehari-hari disekitar kita.
Saya menyadari besar sekali jasa mereka (memproduksi kedele menjadi makanan yg begitu besar nilai gizinya) sumber bahan pangan murah utk rakyat tetapi besar jumlah proteinnya.
Salam
Awakmu cah ngendi, aku cah Blacanan-Siwalan. Podo koyo pak likmu aku yo pengrajin tempe nang Sukabumi.
Aku bocah Krengseng kang!
Pak Lik ku ning Suraboyo..
salam kenal! :)
tempe kan bergizi,…jepang saja berminat dengan tempe jangan2 malah udah dipatenkan.
Mas, hutan bambu yang mas sebutin itu tepatnya di daerah Tenggilis mana ya? kira2 bisa ga dibuat photo shoot? makasih.