Stand Alone Complex
Bukan, ini bukan tentang Ghost in the Shell atau Masamune Shirou, tapi cuma sekedar cuap-cuap biasa tentang pernkikahan dini, ehmm sebenarnya bukan dini juga sih.. sebut aja menikah cepat. Selain teman temanku Iswi dan Ajeng, ada juga temenku satu angkatan yang juga telah menikah sekitar 5 bulan yang lalu, yang ini malah lebih ekstrem lagi “mereka belum pernah ketemuan sebelumnya!” OK, ekstrem mungkin memang bukan kata yang tepat, ini semua memang dari sudut pandangku saja, dari sudut pandang orang biasa, sesederhana itu, tapi tak ada salahnya diutarakan kan? lagi pula ini juga alasan adanya blog :)
Menikah dini (dalam hal ini tentu saja menikah yang normal ya, on purpose, terencana, bukan menikah yang terpaksa) apakah hal ini adalah hal yang berani ataukah hal yang penakut? Berani ya tentu saja, menentukan jalan hidup didalam waktu yang demikian cepat tentu membutuhkan keberanian yang besar. Berani untuk menanggung hidup bersama, berani untuk menjadi milik orang lain dan dimiliki oleh orang lain, terlebih orang lain yang hanya kita kenal dalam hitungan hari. Btw, I always wonder how it is feel to sleep legally with a stranger. hehehe… just kidding!
Takut? Mungkin juga. Terlalu takut untuk menghadapi kesendirian, takut akan masa depan? takut terkejar oleh usia? Takut melewatkan kesempatan? Takut akan orang lain disekitar kita? Takut tersaingi oleh teman atau saudara yang telah berumah tangga sebelumnya? Dan yang paling penting.. takut tidak mendapatkan sekuritas hidup dan pengakuan?
Kalau kita menanyakan sesorang mengapa mengambil keputusan yang sedemikian dramatis (at least di mata orang awam) tentu beribu jawaban dan alasan akan terucap… mulai dari alasan-alasan seperti teruliskan diatas tadi, juga alasan agama untuk menyempurnakan ibadah, mencegah hal maksiat, memperkuat keimanan sampai pada the ultimate answer : “why not?” Bahkan kalau mau, deretan ayat dan hadistpun bisa diceritakan.. persis seperti apa yang biasa tercetak pada kartu undangan. wuah !
Kalau mau jujur, kalau kita mau telanjang, melepaskan seluruh atribut kita. Kita sebagai manusia, tidak terpengaruh oleh keluarga, tidak oleh teman, tidak oleh pekerjaan, tidak oleh ambisi bahkan tidak oleh agama, kita hanya sebagai daging dan tulang yang dibalut oleh perasaan, tidak terlindung oleh apapun juga, tidak juga oleh berderet-deret dalil dan ayat agama yang biasanya selalu kita jadikan tempat sandaran untuk mengamankan dan membenarkan pendapat kita. Saat kita benar-benar kosong. “Siapkah aku menikah?”, “Diakah orang yang tepat untukku?” , “inikah saatnya bagiku?” Apa kabar dong dengan yang namanya “Cinta?”, dengan yang namanya “menggapai cita-cita setinggi langit?” dengan kisah menyelamatkan dunia dulu bersama dia?
Pemikiran juga tak jauh-jauh dari pengalaman hidup. Sudah jadi standard nasehat terutama bagi cowok, kalo mau nikah punya pekerjaan dulu or else istri-nya mau dikasih makan batu. Kalo mau nikah punya rumah dulu or else tinggal ama mertua, malu kan. Semuanya masuk akal kan? So aku akan ikut. Bermacam macam juga inspirasi datang dari hal-hal yang tak terkira. Dulu ada sahabatku yang dari Italia dia heran banget melihat dijalan raya ada satu motor yang ditumpangi oleh satu keluarga, ayah ibu dan tiga orang anak dengan variasi usia yang tidak terpaut jauh. Kok bisa-bisanya ya orang itu tidak dihentikan polisi? Tindakan itu jelas berbahaya, malah mirip sirkus. Ugh.. dulu sakit juga hati juga bangsaku dibilang begitu. Sirkus? Damn it. Eh tapi kalau dipikir-pikir bener juga ya. So aku tambahkan lagi prasyarat nikahku : “Aku harus punya mobil dulu sebelum kawin“. Terus yang konyol juga ada, dulu juga ada temenku sesama otaku yang sama seperti aku ingin melihat dunia dengan kepala sendiri, ingin pergi ke jepang dahulu, ingin melihat cewek jepang dulu hehehe… jadi kita membuat janji laki-laki : “nggak akan kawin sebelum ke jepang!” Wah banyak banget, bisa bisa bujangan seumur hidup nih…
Anyway inikan cuma pemikiran, dan pemikiran sebagaimana uniknya untaian helix DNA, bisa bermacam-macam antara manusia satu dan lainnya. Dulu aku sempat membaca ajaran Zen, ada satu kisah yang menarik. Pikiran manusia itu bagaikan cangkir teh, kita tidak akan bisa menuangkan teh kedalam cangkir tersebut sementara cangkir tersebut telah penuh terisi, teh akan meluber keluar dari cangkir teh. Pemikiran baru akan selalu ditolak dan kita akan menjadi cangkir teh yang egois, terjebak dengan kebenaran kita sendiri…
Tapi semuda-mudanya, kita kan juga sudah dewasa, kita berpikir dengan pikiran kita bukan dengan hati kita lagi. Apa yang kita lakukan berpengaruh pada diri kita sendiri. So life, here I come!